Jumat, 13 Maret 2009

Chimping... Simpanse Berkamera Digital

Fotografi digital telah mengubah secara drastis dunia fotografi secara umum. Tidak hanya menggusur pabrik produsen film analog, tetapi juga mengubah proses kerja bahkan gaya memotret seseorang. Baik itu fotografer pro maupun amatir.

Kini kamera digital seolah telah menjadi kebutuhan. Bahkan bisa jadi kamera digital kini telah menjadi gaya hidup. Tidak lengkap rasanya jika memiliki telepon genggam tanpa dilengkapi kamera digital di dalamnya.

Berbicara tentang gaya, ada ‘gaya’ khas yang dilakukan oleh kebanyakan pemotret saat memotret dengan kamera digital. ‘Gaya’ itu sering disebut Chimping. Mengapa saya menggunakan tanda kutip pada kata gaya ini? Sebenernya istilah ini bernada negatif, asal kata yang digunakannya saja ‘chimp’ dari kata chimpanze, alias monyet simpanse yang tergolong cerdas. (Walau cerdas tetap saja monyet!)

Istilah miring ini ditujukan terhadap pemotret yang kerap melihat langsung hasil jepretannya di layar LCD kamera digitalnya. Karena kurang pede atas kemungkinan hasil foto yang didapatnya. Yang lebih ekstrim lagi merujuk kepada ‘gerombolan’ (maksudnya lebih dari 1 orang) pemotret yang berisik saat yang saling memperlihatkan hasil jepretannya.

“Wooowww; aahhh; kereen boooyy; uuiiiidddiiiiiiihhh foto di mana tuh; motret dimana tuh yang pake rok mini?”, adalah ilustrasi berisiknya simpanse-simpanse berkamera digital ini saat ber-chimping.

Namun ada juga fotografer yang menganggap positif aksi chimping ini. Justru karena karakteristik kamera –yang bisa dilihat langsung hasilnya— yang harus dimanfaatkan demi memperoleh hasil yang maksimal dari kamera digital kita.

By the way - by the way … soal chimping. Saya jadi teringat saat mengajak Kean—anak saya yang saat itu belum genap 3 tahun—hunting menggunakan kamera digital SLR. Saya bawa dia ke lapangan dekat rumah bertepatan hari raya Idul Qurban. Dengan kamera terkalung di leher Kean memasuki lapangan tempat hewan-hewan kurban dibantai.

Kean pun mulai memotret sana motret sini…

Beberapa anak sebaya dan yang lebih tua tampak tertarik melihat aksi tukang poto cilik ini. Tampak penasaran merekapun menghampirinya. Dihampiri anak-anak tadi Kean dengan pedenya membalikkan bodi kamera dan memamerkan foto jepretannya kepada anak-anak tadi. Kean pun ber-chimping!!!

Padahal saat saya mengenalkan kamera digital kepadanya, “Bab Chimping” tidak pernah Saya perkenalkan!

Akhirnya keputusan ada di tangan Anda? Cuek dibilang chimper yang penting asik? Atao berlagak jaim sampe rumah jepretan foto Anda ancur-ancuran?

Gadgets aren't Not for Infants

"Abbah...abah...kameya anakna lucak ku Ade. Kameya na kotoy diibakan na tai ku Ade," terdengar suara nyaring dari sebrang sana tanpa titik koma. (Abah...abah, kamera anaknya rusak sama Ade. Kameranya kotor, dimandiin di air oleh Ade)

Namun maksudnya tertangkap cukup jelas. Kamera saku digital ku direndam ke dalam air dgn maksud dicuci oleh anakku yg baru 3hari genap 3 tahun.

Hhhhh... Akhirnya kejadian juga. Berbagai pengalaman orang lain ttg balita dan gadget-nya akhirnya teralami.

Setiba di rumah Panasonic FX-30 ku tergeletak pasrah. Baterai dan SD-Card telah dikeluarkan oleh Ambu, indungna budak (ibunya anak2-red).

Sebelumnya Aku cukup reueus (berbangga) atas kemampuannya ngoprek berbagai gadget. Mulai dari PDA, Kamera Digital Pocket, hingga terakhir kamera DSLR D50.

Hampir semua fitur dasar alat tadi dikuasainya. Khusus DSLR dilakukan dengan pengawasan agak ketat.

Namun 'kebiasaan' memberikan gadget sebagai mainan anak kali ini harus dibayar mahal. Kamera pocket digitalku dimandiin

Anak-anak emang nggak cocok sama gadget.

.

Memotret Braga Festival 2008

Akhir Desember 2008, Braga Festival kembali digelar di Kawasan Braga, Kota Bandung. Menarik juga. Lumayan pas libur di Bandung ada alternatif pangulinan selain mall. Kean kubawa serta, sementara si Ambu masih masup kerja.

Hanya beberapa menit menjejakkan kaki di lokasi acara, kami bertemu dengan salah satu kawan Spektrum yang kini menjadi staf humas di Pemkot Bandung. Ku pinjam kamera digital yang ditentengnya. Kean memegang kamera tadi dan membidikkan ke arah si pemilik. Klik! Lalu dia menunjukkan hasil fotonya kepada kami. Haaa jadi euy!

Kami melanjutkan perjalanan. Kean merengek, “Kameya besay mana, Bah? Kayuaykeuun!” ujarnya. Merengek minta ‘kamera besar’—sebutannya untuk kamera digital SLR— agar dikeluarkan.Di sekeliling kami memang hilir mudik pengunjung yang menenteng berbagai jenis kamera. Mulai dari kamera saku analog hingga kamera SLR digital tercanggih.

Eleh deet, akupun mengeluarkan kamera D50. SLR Digital middle end keluaran Nikon. Bukan yang tercanggih tapi bobotnya yang ringan tidak menyulitkan si kecil membidik objek fotonya.

Bermodalkan lensa fixed, 28mm autofocus, si Kean dengan pede membidikkan kameranya kesana kemari.

Alih-alih bias tenang memotret kesana kemari, si Tukang Poto cilik ini malah dikerubuti beberapa mahasiswa dan mahsiswi. Mereka memotret Kean yang tengah memotret.

“Boleh motret anaknya gak, Mas?”, ujar salah seorang perempuan. Dari jas almamaternya kayaknya mahasiswi.
“Boleeeh, charge nya per frame foto, ya”, ujarku.

Kean pun terus memotret

Setiba di Gedung YPK, anak-anak WFB tampak nongkrong di pintu depan gedung. Kejadian yang sama kembali terulang. Kean motret, dikerubuti anak WFB yang motret dia. Bedanya kamera yang dipake mereka lebih gahar.

“Gi, anak lu segede gini udah bias motret. Entar anak gue segede gini udah nyimeng,” ujar Roni, pewartafoto Kompas… (dassaaaar nu gelo!). ***

My First Digital SLR

Hari itu aku pulang ke Bandung membawa 2 bodi kamera. Nikon D50 menjadi 2nd body. Cadangan untuk D200ku.

Melihat si Abah tengah 'membongkar muatan' ranselnya, Kean ikutan nimbrung. Terdorong rasa iseng, Aku kalungkan bodi D50 + lensa 28mm ke lehernya.

Di luar dugaan, Dia mulai menggunakan kamera DSLR tadi. Memotret ke sana kemari.

Bodi kamera yg cukup ringan dibantu fasilitas autofocus & autoexposure membuatnya mampu menghasilkan foto-foto 'jadi'.

Kean menggunakan mata kiri untuk membidik. Hal ini tidak membuatnya memicingkan mata kanannya saat memotret. Cerdik!


Sebuah kejutan buatku.

Sebelumnya, jika memotret dgn DSLR, Dia meletakkan jendela pembidik di jidatnya. Bukan di matanya. Itupun harus kubantu dgn memegangi tali kamerannya. Krn berat kamera.

Jadilah Nikon D50 menjadi DSLR pertama Kean.

Kean (mulai) Motret

Akhir tahun 2007 diputuskan untuk membeli kamera saku digital. Sedianya tujuan membeli kamera saku digital hanya untuk mendokumentasikan perkembangan si kecil. Selama Aku tidak berada di Bandung.

Diputuskan untuk membeli Panasonic Lumix FX30. Ukuran cukup mungil lengkap dengan fasilitas video recording-nya. Si Ambu (ibunya) atau si Mamang bisa mengabadikan tingkah polahnya yang lucu. Saat itu umur Kean belum genap 2 tahun.

Namun, belakangan anakku ikut memakai kamera saku tadi. Mengabadikan segala sesuatu di sekelilingnya. Ambu, Abah, Aki, Nini, coretan tangannya di tembok, hingga berbagai jenis mainan miliknya.

Fokus dan pencahayaan masih bisa diserahkan pada otak komputer kamera. Tapi lain halnya dengan komposisi. Dgn komposisi khas anak—berantakan. Jari seringkali ikut 'in frame' – foto-foto Kean mulai memenuhi folder “Photographed by Kean”.

Belakangan komposisi fotonya makin lumayan. Memotret orang udah bisa 'di tengah'.

Ada ‘kejutan kecil’ saat memperhatikannya perkembangannya memotret.
Ketika sadar objek fotonya tidak muat dalam format bingkai foto horisontal. Serta merta dia memutar kameranya menjadi vertikal. What a surprise!

Kean menemukan dunia bermainnya yang baru dunia memotret. Wah, bakalan punya fotografer pribadi neh!.

"Son, U're the youngest Photographer I've ever know..."

Selasa, 06 Januari 2009

2 Januari 2006, Ahad 17.10…

Hari itu, Ahad, 2 Januari 2006. Seorang perempuan mengerang kesakitan di ruang bersalin RS Al Islam, Bandung.

Perjuangan antara hidup dan mati demi sebuah kehidupan jabang bayi yang dikandungnya selama sembilan bulan.

Setelah berjuang lebih dari 3jam, pukul 17.10 sesosok bayi laki-laki mungil (berbibir tebal) terlahir. (Lama ‘terendam’ dalam cairan ketuban membuat bibirnya merah merekah, mirip vokalis Rolling Stones, Mick Jagger ).

Tangan-tangan cekatan perawat segera ‘mengambil alih’ sang bayi.

Selang panjang dimasukkan kedalam mulut tubuh kecil itu. Menghisap sisa cairan ketuban dan cairan lain yang masuk ke mulutnya. Sementara perawat lain membersihkan sisa lendir yang meliputi sekujur tubuh si bayi.

Tidak terdengar tangisan. Si bayi tidak menangis.

Tapi tangan kecil tampak menggapai-gapai ke udara. Tidak lama terdengar tangisan nyaring membahana di seluruh ruangan. Alhamdulillaah…

Rakean Ahmad Zayyid Ardhi, nama si jabang bayi. 3,3 kg dengan panjang 50cm.

Puluhan sms di mengudara menyampaikan kabar gembira ini.

Tidak terasa, rana Nikon Coolpix 995 yang mengabadikan gambar detik demi detik saat bersejarah itu telah berkedip ratusan kali.

Ratusan bingkai foto kelahiran anakku...